DARI DUSUN KE DUNIA AKADEMIK (DDDA)

“Dari Dusun ke Dunia Akademik” adalah sebuah kisah nyata dan inspiratif yang menyentuh hati tentang seorang anak lelaki dari desa hidup dalam keterbatasan bersama kedua orang tua dan enam saudara kandung. Sejak kecil, Trisno sudah akrab dengan perjuangan. Ia pergi ke sekolah dengan berbekal apa adanya, dan selepas pulang sekolah, ia menjajakan es potong keliling kampung demi bisa menabung dan membantu meringankan beban orang tua.

Masa remajanya pun tak lebih mudah. Saat teman-temannya menghabiskan waktu liburan untuk bersenang-senang, Trisno memilih bekerja sebagai buruh bangunan untuk menabung impian. Tak jarang ia tak bisa melihat nilai rapor saat duduk di bangku SMP karena tunggakan biaya sekolah yang belum lunas. Namun, semangatnya tak pernah padam. Setelah lulus SMA, ia merantau dari kampung ke kota, bekerja di pabrik hingga malam, menyisihkan gaji pas-pasan demi kursus bahasa Inggris, sampai akhirnya menjejakkan kaki di ruang wisuda program doktor. Bukan tanpa air mata, bukan tanpa lelah. Tapi semua itu dibingkai dengan optimisme dan keyakinan bahwa Allah SWT tidak pernah tidur dari urusan hamba-Nya. Bagi Trisno bahwa hidup bukan tentang apa yang kita punya, tapi tentang bagaimana kita bertahan dan melangkah meski tanpa apa-apa.

Buku ini bukan sekadar untaian kisah seorang anak desa yang tumbuh dalam kesederhanaan, namun merupakan lukisan nyata dari keteguhan hati, keyakinan, dan keikhlasan dalam menjalani kehidupan. Kisah Trisno bukan cerita tentang seseorang yang terlahir dengan kemudahan, melainkan tentang seorang anak manusia yang melawan arus kemustahilan dengan kerja keras, doa, dan harapan yang tak pernah padam.

Buku ini tidak ditulis untuk meninggikan satu nama, tapi untuk mengangkat semangat siapa saja yang merasa kecil, terbatas, atau terhimpit oleh keadaan. Ini adalah pesan bahwa setiap kita bisa menjadi besar, bukan karena kekayaan atau jabatan, tapi karena pilihan untuk terus bergerak, belajar, dan berserah kepada Allah.

“Dari Dusun ke Dunia Akademik” bukan hanya kisah tentang pendidikan, tetapi juga tentang keteguhan hati, keikhlasan, dan kekuatan mimpi. Trisno mengajarkan bahwa jalan menuju kesuksesan tidak selalu lurus, tetapi siapa pun yang melangkah dengan niat baik, akan sampai pada takdir indahnya.

Dalam hidupnya, Ia memahami Safa dan Marwahnya. ia berlari dari satu masalah ke harapan lain, dari satu ujian ke titik sabar berikutnya. Dan ia percaya bahwa selama langkah itu masih ia tempuh dengan sungguh-sungguh, maka InsyaAllah, akan selalu ada ‘Zamzam’, pertolongan dari langit, yang datang padanya waktu yang paling sempurna.

Di dunia yang serba cepat ini, kita butuh lebih banyak “tongkat Musa.” Tongkat-tongkat itu mungkin bukan dari kayu, tapi dari kesabaran, ketekunan, kejujuran, dan keteguhan hati. Tongkat yang ketika diayunkan akan membuat kehidupan bergetar dan takdir berubah. Tongkat yang akan menunjukkan bahwa bukan siapa kita hari ini yang menentukan masa depan, tetapi seberapa kuat kita percaya bahwa Allah tak akan meninggalkan hamba-Nya yang bersungguh-sungguh.

Kisah ini bukan akhir, melainkan permulaan. Percaya bahwa setiap orang memiliki Safa dan Marwah dalam hidupnya masing-masing—dua titik yang harus dilalui dengan tekad, dengan langkah-langkah kecil namun penuh makna. Dan jika langkah itu dijalani dengan niat baik dan usaha sungguh-sungguh, maka kemustahilan pun akan tunduk pada kehendak-Nya.

Semoga kisah ini menjadi cermin bagi yang sedang putus asa, menjadi pelita bagi yang sedang dalam kegelapan, dan menjadi pemantik semangat bagi siapa saja yang ingin mengubah nasibnya dengan tangan sendiri. Karena pada akhirnya, sebagaimana tongkat Nabi Musa membelah lautan, begitu pula keyakinan dan perjuangan tulus akan membuka jalan menuju takdir terbaik.